Jangan Salah Memahami Hadits al-Jariyah!!! Fatal Akibatnya.
Oleh : Nashrul Mukmin
Kaum Wahhabiyyah Seringkali Menyelewengkan Makna Hadits
Ini!!Ada sebuah hadits yang dikenal dengan Hadits al-Jariyah, hadits tentang
seorang budak perempuan yang dihadapkan kepada Rasulullah. Hadits ini
diriwayatkan oleh al-Imam Muslim; bahwa seorang sahabat datang menghadap
Rasulullah menanyakan prihal budak perempuan yang dimilikinya, ia berkata: “Wahai
Rasulullah, tidakkah aku merdekakan saja?”. Rasulullah berkata: “Datangkanlah budak perempuan tersebut
kepadaku”. Setelah budak perempuan tersebut didatangkan, Rasulullah
bertanya kepadanya: “Aina Allah?”. Budak tersebut menjawab: “Fi
as-sama’ ”.
Rasulullah bertanya: “Siapakah aku?”. Budak menjawab: “Engkau
Rasulullah”. Lalu Rasulullah berkata (kepada pemiliknya): “Merdekakanlah
budak ini, sesungguhnya ia seorang yang beriman”. (HR. Muslim)
Pemahaman hadits ini bukan berarti bahwa Allah bertempat
di langit seperti yang dipahami oleh kaum Wahhabiyyah, tetapi makna "Fi
as-Sama'" dalam perkataan budak tersebut adalah untuk mengungkapkan
bahwa Allah Maha Tinggi sekali pada derajat dan keagungan-Nya. Pemahaman
teks ini harus demikian agar sesuai dengan pemahaman bahasa. Seperti perkataan
salah seorang penyair mashur; an-Nabighah al-Ju’di, dalam sebuah sairnya
berkata:
بَلَغْنَا السّمَاءَ مَجْدُنَا وَسَنَاؤُنَا # وَإنّا لَنَرْجُو
فَوْقَ ذَلِكَ مَظْهَرَا
“Kemuliaan
dan kebesaran kami telah mencapai langit, dan sesungguhnya kita mengharapkan
hal tersebut lebih tinggi lagi dari pada itu”.
Pemahaman
bait syair ini bukan berarti bahwa kemuliaan mereka bertempat di langit, tetapi
maksudnya bahwa kemuliaan mereka tersebut sangat tinggi.
Kemudian
dari pada itu, sebagian ulama hadits telah mengkritik Hadits al-Jariyah ini,
mereka mengatakan bahwa hadits tersebut sebagai hadits mudltharib, yaitu hadits
yang berbeda-beda antara satu riwayat dengan riwayat lainnya, baik dari segi
sanad (mata rantai) maupun matan-nya (redaksi). Kritik mereka ini dengan
melihat kepada dua segi berikut;
Pertama: Bahwa
hadits ini diriwayatkan dengan sanad dan matan (redaksi) yang berbeda-beda; ini
yang dimaksud hadits mudltharib. Di antaranya; dalam matan Ibn Hibban dalam
kitab Shahih-nya diriwayatkan dari asy-Syuraid ibn Suwaid al-Tsaqafi, sebagai
berikut: ”Aku (asy-Syuraid ibn Suwaid al-Tsaqafi) berkata: “Wahai
Rasulullah sesungguhnya ibuku berwasiat kepadaku agar aku memerdekakan seorang
budak atas nama dirinya, dan saya memiliki seorang budak perempuan hitam”.
Lalu Rasulullah berkata: “Panggilah dia!”. Kemudian setelah budak
perempuan tersebut datang, Rasulullah berkata kepadanya: “Siapakah Tuhanmu?”,
ia menjawab: “Allah”. Rasulullah berkata: “Siapakah aku?”, ia menjawab:
“Rasulullah”. Lalu Rasulullah berkata: “Merdekakanlah ia karena ia
seorang budak perempuan yang beriman” .
Sementara
dalam redaksi riwayat al-Imam al-Bayhaqi bahwa Rasulullah bertanya kepada budak
perempuan tersebut dengan mempergunakan redaksi: “Aina Allah?”, lalu
kemudian budak perempuan tersebut berisyarat dengan telunjuknya ke arah langit.
Dalam riwayat ini disebutkan bahwa budak tersebut adalah seorang yang bisu.
Kemudian
dalam riwayat lainnya, masih dalam riwayat al-Imam al-Bayhaqi, Hadits al-Jariyah
ini diriwayatkan dengan redaksi: “Siapa Tuhanmu?”. Budak perempuan
tersebut menjawab: “Allah Tuhanku”. Lalu Rasulullah berkata: “Apakah
agamamu?”. Ia menjawab: “Islam”. Rasulullah berkata: “Siapakah
aku?”. Ia menjawab: “Engkau Rasulullah”. Lalu Rasulullah berkata
kepada pemiliki budak: “Merdekakanlah!”.
Dalam
riwayat lainnya, seperti yang dinyatakan oleh al-Imam Malik, disebutkan dengan
memakai redaksi: “Adakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak
disembah kecuali Allah?”, budak tersebut menjawab: “Iya”. Rasulullah
berkata: “Adakah engkau bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?”, budak
tersebut menjawab: “Iya”. Rasulullah berkata: “Adakah engkau beriman
dengan kebangkitan setelah kematian?”, budak tersebut menjawab: “Iya”.
Lalu Rasulullah berkata kepada pemiliknya: “Merdekakanlah ia”.
Riwayat
al-Imam Malik terakhir disebut ini adalah riwayat yang sejalan dengan
dasar-dasar akidah, karena dalam riwayat itu disebutkan bahwa budak perempuan
tersebut sungguh-sungguh datang dengan kesaksiannya terhadap kandungan dua
kalimat syahadat (asy-Syahadatayn), walaupun dalam riwayat al-Imam Malik ini
tidak ada ungkapan: “Fa Innaha Mu’minah” (Sesungguhnya ia seorang yang
beriman)”.
Dengan
demikian riwayat al-Imam Malik ini lebih kuat dari pada riwayat al-Imam Muslim,
karena riwayat al-Imam Malik ini sejalan dengan sebuah hadits mashur, bahwa
Rasulullah bersabda:
أُمِرْتُ أنْ أُقَاتِلَ النّاسَ حَتّى يَشْهَدُوا أنْ لاَ إلهَ
إلاّ اللهُ وَأنّي رَسُوْلُ الله (رواه البخاري وغيره)
“Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa saya adalah utusan Allah”.
Riwayat
al-Imam Malik ini juga sejalan dengan sebuah hadits riwayat al-Imam an-Nasa-i
dalam as-Sunan al-Kubra dari sahabat Anas ibn Malik bahwa suatu ketika
Rasulullah masuk ke tempat seorang Yahudi yang sedang dalam keadaan sakit.
Rasulullah berkata kepadanya: “Masuk Islamlah engkau!”. Orang Yahudi
tersebut kemudian melirik kepada ayahnya, kemudian ayahnya berkata: “Ta’atilah
perintah Rasulullah”. Kemudian orang Yahudi tersebut berkata: “Aku
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Lalu Rasulullah berkata: “Segala
puji bagi Allah yang telah menyelamatkan dia dari api neraka dengan jalan
diriku”.
Ke dua; Bahwa
riwayat Hadits al-Jariyah yang mempergunakan redaksi “Aina Allah?”,
adalah riwayat yang menyalahi dasar-dasar akidah, karena di antara dasar akidah
untuk menghukumi seseorang dengan keislamannya bukan dengan mengatakan “Allah
Fi as-Sama’”. Tidak pernah dan tidak dibenarkan jika ada seorang kafir yang
hendak masuk Islam diambil ikrar darinya bahwa Allah berada di langit. karena
perkataan semacam ini jelas bukan merupakan kalimat tauhid. Sebaliknya kata “Allah
Fi as-sama’” adalah kalimat yang biasa dipakai oleh orang-orang Yahudi dan
orang-orang Nasrani, juga orang-orang kafir lainnya dalam menetapkan keyakinan
mereka. Akan tetapi tolak dasar yang dibenarkan dalam syari’at Allah untuk
menghukumi keimanan seseorang adalah apa bila ia bersaksi dengan dua kalimat
syahadat sebagaimana tersebut dalam hadits mashur di atas.
(Masalah):
Jika seseorang berkata: Bagaimana mungkin riwayat al-Imam Muslim yang
menyebutkan dengan redaksi “Aina Allah?”, yang kemudian dijawab “Fi
as-sama’”, sebagai hadits yang tertolak, padahal bukankah seluruh riwayat
al-Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya disebut dengan hadits-hadits shahih?
(Jawab):
Terdapat beberapa ulama hadits telah menolak beberapa riwayat Muslim dalam
kitab Shahih-nya tersebut. Dan andaikan Hadits al-Jariyah tersebut tetap
diterima sebagai hadits shahih, maka hal itu bukan berarti maknanya bahwa Allah
bertempat di langit seperti yang dipahami oleh sebagian orang bodoh, tetapi
maknanya adalah bahwa Allah Maha tinggi sekali derajat dan keagungannya. Dan di
atas dasar makna inilah sebagian ulama Ahlussunah ada yang tetap menerima
Hadits al-Jariyah dari riwayat al-Imam Muslim tersebut sebagai hadits shahih.
Artinya, bahwa mereka tidak memaknai Hadits al-Jariyah ini dalam pemahaman
makna zhahirnya yang seakan menetapkan bahwa Allah berada di langit. Pemahaman
ulama Ahlussunnah ini berbeda dengan keyakinan kaum Musyabbihah (Wahhabiyyah
sekarang) yang mamahami hadits tersebut sesuai makna zhahirnya, hingga mereka
mengatakan bahwa Allah berada di langit. Yang aneh, pada saat yang sama mereka
juga mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy. di dua tempat heh?!! A'udzu
Billah. Lebih aneh lagi, teks-teks yang zhahirnya seakan Allah berada di arah
bumi/bawah tidak mereka ambil dalam makna-makna zhahirnya. Pemahaman apa ini?!!
Jelas, ini namanya pemahaman "seenak perut", pemahaman "semau
gue" (tahakkum).
Penjelasan
lebih lanjut tentang Hadits al-Jariyah, baca syarah Shahih Muslim (al-Minhaj Bi
Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj) karya al-Imam an-Nawawi (w 676 H)
Ingat dan
tetap selalu yakini bahwa aqidah Rasulullah dan para sahabatnya, serta kaum
Salaf Saleh, yang kemudian turun temurun diyakini oleh mayoritas ummat Islam
Ahlussunnah adalah; ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH.